My pregnancy diary: Rasa Syukur #weeks38
Semalam selewat baca obrolan di group gentle birth, cuma kata kata pendek aja dari bidan neny menanggapi curhatan kliennya "udah ah daripada dipikirin mendingan disyukuri aja yuk"
Di blog cupofjo yang biasa saya kunjungi ada sebuah posting tentang personal notes dari Joanna sendiri, tentang bagaimana dia sendiri pun punya kekhawatiran dalam hidup. Ya, semua foto bagus dan memori baik yang terekam foto yang diupload di instagram jujur adanya, tapi kehidupan social media semua orang tentu bukan representasi dari seluruh kehidupannya. Tapi Joanna bilang itu bukan hal buruk, everyone has their own struggle. Anak tantrum, bokek pertengahan bulan, persaingan di lingkungan kerja, peer pressure, cicilan KPR, penantian untuk memiliki buah hati, atau yang seperti saya tiap ketemu orang ditanya terus "kapan lahiran"? Yakali gw tau *duile sensi amat qaqaq*
Menjaga hati supaya gak stress merupakan hal krusial menjelang persalinan karena percayalah efeknya bisa kemana-mana, misalnya tekanan darah tinggi atau malah HB jeblok, bayi sungsang gak mau diajak muter, atau bayi gak mau diajak kerjasama masuk panggul, belum lagi soal berat badan, dll dsb. Tubuh ibu hamil jauh lebih sensi dari tuannya.
Menghindar dari hal-hal yang akan bikin kita bete itu susah sekali, karena tiap hari pasti ada aja tantangannya. Sepintar-pintarnya tutup mata tutup telinga pasti ada aja yang lolos saringan lalu masuk ke hati. Dan pilihan untuk gak menjadikan itu sebagai sesuatu yang akan bikin kita kesel ya cuma ada di tangan kita.
Jadi ternyata, kebahagiaan itu bukan soal gimana batin kita steril dari rasa sakit hati, rasa sebel, annoyed, iri, dll. kebahagiaan itu ternyata datang dari rasa puas dan syukur, itu kayaknya baru bisa dicapai kalau kita mau menerima. Saya inget guru ngaji saya bilang, setiap manusia kan selalu dikasih rizki sama Yang Maha Kuasa, nah itu bisa dibilang jadi rizki kalau kita udah bersyukur, iya juga sih.. Kalau gak bersyukur mana kerasa nikmatnya?
Komentar