It takes a village?



Kami mengawali pendidikan anak sejak di kandungan, dengan keterbatasan pengetahuan pada banyak aspek, semua didapat dari pengalaman, walaupun tak jarang pembuatan keputusan juga lahir dari tuntutan sosial tentang apa yang tampaknya 'harus'.

"It takes a village to raise a child", ungkapan itu kami dengar karena punya anak, dan kemanapun, kucari dan kusediakan kampung itu. dari satu sama lain, kakek nenek, teman-teman, hingga kota tempat tinggal dengan generasi ibu-ibu yang melahirkan lingkaran komunitas.

Sekolah 'resmi' pertama Ayesha mengantarkan kami untuk membuat keputusan pindah kota, dalam pemahaman bahwa kebutuhan anak di awal tahun kehidupannya adalah kasih sayang, kecukupan ruang gerak, kedekatan dangan alam dan kegiatan bermakna. Walau sedikit terpotong pandemi, kami bersyukur dapat memberikasn hak tersebut kepadanya, didukung oleh sekolahnya. sesuatu yang kusetujui sejak awal bersama Nanta: membeli kualitas hidup.

Di SD, aku dan Nanta ingin membuka jendela dunia anak-anak, dengan kagum, rasa tanggung jawab, kesabaran, dan resiliensi. Kugenggam terus 'kampung' itu, hingga kemudian garis hidup menarikku untuk kembali ingat bahwa keluarga kecil kami tetaplah sekolah pertama dan yang utama.

SD terasa seperti maraton panjang, bagaimana tidak, durasi bersekolahnya memang lebih lama dibanding jenjang lainnya. Tapi, namanya juga membersamai anak, "nights are long, days are short", Ayesha tau-tau sudah mulai latihan ujian ANBK, dan aku bersama Nanta dihadapkan pada pertanyaan "mau ke mana kita?". Tarikan ini mengajakku untuk kembali membangun kesadaran bahwa jangkarnya adalah keluarga ini, bagaimana kami mengemban amanah ini.

Suatu malam ketika sholat bersama, aku terpikir, parenting bukan hanya tentang menyekolahkan, memberi makan, antar jemput, memandu mengerjakan PR/tugas, semua adalah bagian ikhtiarnya, aksinya, tapi semua itu didasari dari bagaimana aku 'menjadi', niatku dalam mengerjakannya, bagaimana caraku mengerjakannya, bagaimana aku mencurahkan dan mengarahkan energiku.

Mamaku bilang, "Dulu waktu belum ngerti, Mama kira hidup itu ya sekolah, cari uang, nikah, punya anak, anaknya sukses. Ternyata punya anak itu susah banget, bukan cuma biar dia 'sukses', bukan itu intinya. Anak kita perlu hidup dengan cara yang baik, bermakna, sholah/sholehah di mata Allah, bukan hanya manusia, dan itu harus dimulai dari orang tuanya yang mau belajar dan jadi lebih baik".

Aku merenung, di babak ini sudah sampai mana dan kemana aku mengarahkan energiku sebagai orang tua yang diamanahi anak. Bagaimana anak-anak hadir di hidupku bukan sebagai 'sambilan' peran hidup. Seutuhnya mereka menuntunku pada perjalanan bermakna. 

Babak kami dalam bermitra dengan institusi ada masanya, tapi irisan jalanku bersama anak-anak akan terus bersama, hingga menua, bahkan hingga kehidupan berikutnya. Aku sendiri, sebagai orang dewasa masih membutuhkan panduan Ibuku dalam menavigasi perjalanan parenting ini, pada kemauan Mama dalam bertumbuh, kutemukan kembali 'village' itu. Engkau kampungku, Ma.

Bisa jadi selama ini aku terlalu kecil memandang konsep 'village', besarnya instingku dalam melindungi anak-anak membuatku lupa bahwa dunia ini terhampar sebagai 'village',  Allah menganugrahkannya. Tidak semua orang dapat hidup dalam kondisi ideal, ketika mampu, kita berikhtiar sebaik mungkin, ketika keadaan tidak selalu bisa kita upayakan maksimal, maka aku juga perlu menitipkan lagi kepada-Nya sebagai pemilik anak-anak kita. Semoga, di manapun mereka berada, mereka selalu berada dalam lindungan dan tuntunan-Nya.



Komentar

Postingan Populer