Les untuk anak
Tiba-tiba ngobrolin soal les anak sama Nanta. Term kedua di tahun ajaran ini kami nambah les buat Anya sbg ikhtiar pemenuh kebutuhan gerak. Banyak pertimbangan yang dipikirkan sebelumnya, tapi yang paling deg-degan adalah meluruskan niatnya. Jangan sampe we do more harm than good.
Anya, putri sulung kami yang berusia delapan tahun adalah generasi alpha yang kebiasaan dan porsi geraknya tentu jauh banget dibandingkan kita yang pada waktu masa kecilnya setidaknya lebih banyak jalan kaki dan bermain aktif di luar ruangan, karena pilihan yang ada saat itu ya cuma itu. Orang tua di jaman kita kecil juga lebih merasa baik-baik aja kalau kita pergi sendiri main ke rumah teman atau berangkat sekolah jalan kaki dan naik sepeda, mereka punya pekerjaannya sendiri tanpa perlu terlalu sibuk mengasuh kita. Tentu kita juga nonton TV, baca komik atau main video game, tapi karena jaman dulu masih serba terbatas, mau ngga mau kita juga banyak cari cara untuk melakukan banyak kegiatan. Belum lagi saat itu adalah jaman dimana masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan manual, kerepotan mendorong kita bergerak untuk bertahan hidup.
Jadi bisa dibayangkan seberapa lebar gap-nya di masa anak-anak kita saat ini, kebanyakan jadi macan ternak (kecuali kalau sekolahnya dekat sekali dengan rumah), anak-anak menghabiskan banyak waktu di perjalanan di dalam kendaraan. Di rumah, porsi main di luar ruangan dengan bebas pun terbatas, biasanya juga masih kita temani, dan peringatan “awas jatoh”, hehehehe... Sehingga kebutuhan gerak anak-anak generasi sekarang kurang mencukupi, bisa liat datanya, ada banyak penelitian tentang ini. Apa yang akhirnya muncul biasanya nampak pada kematangan koordinasi tubuh anak yang kurang maksimal, pengaruhnya ke ketangkasan, fokus, prilaku (yang meliputi emosi, kemampuan bersosialisasi, dll), kepercayaan diri, dan yang paling penting adalah kesehatan dan metabolisme tubuh.
Di sekolah kami, kapasitas gerak menjadi bagian penting dalam assesment pada proses penerimaan murid SD. lewat bermain, guru mengobservasi kapasitas anak dari banyak sudut pandang, amatan ini yang akan menjadi panduan untuk menilai kesiapan anak belajar. Gerak mengambil porsi besar dalam pembelajaran anak-anak di sekolah kami, setidaknya sepertiga dari kegiatan sehari-hari diisi gerak, karena proses belajar yang butuh dibadani.
Setiap tiga bulan kami melakukan evaluasi dengan guru, kami menemukan bahwa yang anak-anak lakukan masih belum cukup. Empat jam di sekolah tanpa konsistensi dan keselarasan dengan kebiasaan di rumah belum akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Sebagai orang tua, kami akhirnya dihadapkan pada kenyataan bahwa pendidikan memang tugas semua, memang ‘it takes a village’.
Waktu ke waktu, kami memperbaiki kualitas ritme, bukan lagi hanya soal kapan bangun kapan makan kapan main, bersama anak-anak kami diajak untuk peka membaca kebutuhan mereka, kalau bosan mungkin perlu diberi waktu untuk bergulat dengan kebosanannya, jiwa goler-golerku dipecut untuk memerangi rasa malas bergerak, ketika anak masih hype setelah hari yang panjang mungkin pertanda mereka butuh dibantu untuk punya keterampilan istirahat, kami jadi juga mengatur prioritas, sepenting apa kami perlu meluangkan waktu untuk banyak hal.
Cita-cita mulia ini banyak membantu kami, tapi mengupayakannya tentu amat menantang untuk dikerjakan. Memang benar, no comfort in growth zone. Guru-guru sudah hafal betul, perubahan kecil saja bisa memicu anak menjadi sakit, tapi konsistensi jugalah yang pada akhirnya menjadi obat. Butuh kelapangan untuk menerima keadaan sakit sebagai bagian dari perjalanan tumbuh. Dari kelapangan itulah kami juga belajar membaca apa yang dapat mendukung kesehatan si anak, dan apa yang melemahkan mereka. Deg degan tapi empowering, aku jadi makin tau anakku, bahwa dia itu ya gimana aku :’)
Struggle yang Anya hadapi di tahun pertama masa sekolahnya adalah keterbatasan stamina, dukungan ritme banyak membantu, lalu datang cobaan lain dimana ia sedang bergulat menghadapi perasaan baru dalam dirinya, rasa suka dan tidak suka, kadang bisa terlalu picky sehingga berpengaruh ke kehidupan sosial dan metabolisme. Anya sempat sembelit akut, hingga akhirnya dibantu remedi homeopati, tapi juga dengan masukan bahwa remedi akan berjalan maksimal kalau geraknya aktif, karena kelancaran metabolisme juga bergantung dari gerak tubuh. Ditambah lagi dengan catatan: jangan paksa dia melakukan sesuatu yang tidak ia sukai, namun Ia butuh terus dilibatkan dan diberikan tantangan, dan semuanya perlu dilakukan dengan kasih sayang.
Di term dua ini akhirnya kami menambah kegiatan. Yang pertama adalah tari, Anya suka sekali menari, dan kecintaannya pada menari sekarang semakin spesifik di tari tradisional. Gurunya kebetulan guru tari di sekolah kami yang sangat peduli dengan dunia seni gerak. Yang kedua renang, ini random aja sebenarnya, juga ingat kalau air dingin bagus untuk kesehatan, pas ketemu gurunya kami cocok, Anya juga jadi punya teman main di luar teman Sekolah. Yang ketiga silat, dulu kami iseng-iseng bikin ekskul ini untuk siswa yang rumahnya dekat. Kebetulan penjaga Sekolah kami, Abah dadi, adalah seorang guru silat. Pada silat, corenya ada, fleksibilitas dapet, ritme juga.
Di luar itu, Anya di rumah, sore main ke luar. Housechores yang ia kerjakan masih seputar self care, seperti beberes kamar, cuci kotak bekal, kalau weekend cuci sepatu dan bantu ngosek kamar mandi.
Bulan ini aku dan Nanta mengevaluasi apa yang telah kita upayakan, kami mengamati bagaimana kapsitas tiga guru tambahan ini dapat memandu Anya membangun diri karena kesabaran dan keteguhannya, anak kami tau betul cara menguji boundaries, ia bisa menolak atau mogok ketika menemukan kesulitan, ia bisa terlalu bersemangat di awal dan kehabisa tenaga di tengah, guru yang tegas dan sayang lah yang akhirnya dapat menuntun Anya.
Di tengah obrolan kami Nanta bertanya, "emang sebenernya idealnya kapan sih anak-anak tu bisa les?"
Ya balik lagi ke kebutuhan anaknya dan orang tua. Ada yang butuh, ada yang engga. Tapi kalau kita nih ya, ada beberapa catetan kan (sambil bahas, sambil menyamakan visi):
1. Les apa
Yang paling umum biasanya terbagi ke beberapa kategori sesuai minat, bakat dan dompet orangtuanya 🤣:
• gerak: tari atau olah raga
• Musik
• akademik atau bahasa
• Seni
2. Umur
Dari sisi tahapan perkembangan, anak-anak enam tahun kebawah belum dikasih instruksi, mereka belajarnya lewat meniru, makanya masuk ke poin 2
3. Pendekatan
Di faktor ini banyak hal teknis yang bisa diulik, Apakah jenis kegiatan yang dipilih sesuai dengan kebutuhan di tahap perkembangan tersebut. Misalnya kalau ngambil tari jenis tertentu, Apakah badan sudah siap, kalau anak-anak di usia early childhood sedang butuh mematangkan core, apakah sudah waktunya latihan kaki. Atau kalau misalnya musik, apakah anak sudah pada usianya untuk dapat latihan membaca not.
Kalau tempat lesnya aware dengan tahapan perkembangan anak, umur early childhood biasanya cukup dengan si anak mengikuti gurunya, tanpa terlalu banyak instruksi. Nanti kalau sudah sampai di jenjang akademik resmi (SD) barulah anak-anak lebih siap belajar dengan fokus dan terarah. Pendekatan yang dilakukan akan menjadi cerminan pada poin ke 4
4. Tujuan
Tiap tempat les punya visi misi masing-masing, ada yang udah terkenal dan memang rajin mengadakan penampilan atau lomba, ada yang ingin mengasah bakat anak, ada ekspert2 yang memang passionate di bidangnya dan ingin mengenalkan dunianya, ada yang ingin mendukung tumbuh kembang anak, ada yang ingin melestarikan budaya, ada yang membuka ruang untuk sosialisasi, macem-macem kan..
Di bagian ini kita sbg orang tua bisa mempertimbangkan apakah value dari lembaga tersebut cocok dengan visi misi keluarga.
Dan akhirnya kubilang ke Nanta, kita beresin dulu agenda2 kita, liat lagi bener2, apa sih yang mau kita cari, sepenting apa, apa guru-gurunya peduli dan sayang sama anak kita dan kebutuhannya, pilihan ini buat kebaikan siapa, durasinya berapa lama, anaknya mau ngga, itu baik ngga buat anaknya, gimana lingkungannya, di hari Les gimana ritmenya dan kapan istirahatnya. Baru abis itu: berapa bayarnya🤣 gimana nganternya.
Tiga kegiatan baru ini durasinya rata-rata satu setengah jam, sore setelah waktu tenang, diseling harinya supaya bisa istirahat. Pada ketiga guru aku nitipin untuk sabar sama Anya, dan niatin aja supaya anak ini bisa beradaptasi dengan baik belajarnya, dan ga usah ambi lah mau ikut olimpiade. Udah konsisten aja alhamdulillah. 🤲🏼
Dengan harapan semoga jadi kebaikan untuk Anya, tapi sebagai orang tua, bisa aja ini salah atau ngga tepat, bisa aja kebanyakan. kami sambil terus membaca kebutuhan, masih belajar menjadi orang tua :D Bismillah yaa. Apapun yang kita upayakan, sempga anak-anak tumbuh sehat dan bahagia.🤗
Komentar
-Ira