Merawat Kedirian - Bagian I

 

Di hari terakhir bulan September kemarin, Study Group Waldorf Jakarta melanjutkan Study Group dari buku ‘The Education of The Child’.

Sebelumnya kita sudah membahas tentang empat bagian dari manusia atau konsep ‘The Four Fold of Human Beingdimana dalam tubuh manusia ada fisik yang menjadikan kita punya jasad, ada etheric atau daya hidup yang memampukan tubuh kita berfungsi dan bertumbuh, ada astral yang membuat kita mampu merasa dan memiliki emosi, serta I (saya) atau kedirian yaitu individualitas yang membuat kita punya kesadaran , yang menjadikan kita berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Ilustrasi Karya Tijana Lucovic

Pembahasan di bulan September mencoba mengulik tentang aspek I yang dimiliki tiap insan.

This body of the I is the vehicle of the higher soul of humankind. With it human beings are the crown of all earthly creation.

Nah, katanya, kedirian merupakan kendaraan dari jiwa manusia. Dengan kedirian-individualitas, manusia menjadi ciptaanNya yang paling utama

All of this has taken place through the ‘I’ working upon the other members of the human being. Indeed, this constitutes the special task of the I. Working outward from itself it has to ennoble and purify the other members of human nature.

Dalam elaborasi tentang I, ditegaskan bahwa keberadaannya bekerja di tiap bagian dari tubuh manusia, dari bagian fisik hingga astral, dimana tugasnya adalah memuliakan dan memurnikan manusia itu sendiri.


In human beings who have reached beyond the condition where the external world first placed them, the lower members have changed to a greater or lesser degree under the influence of the I.

Dalam perjalanannya manusia akan melewati berbagai proses dalam hidup, pada tiap pengalaman yang dilewati akan selalu ada perubahan yang terjadi pada diri manusia, kemajuan atau kemundurannya tercipta dari pengaruh I dalam mengolah kedirian kita. 


When human beings are only beginning to rise above the animal, when their I is only just kindled, they are still like an animal insofar as the lower members of their being are concerned. The etheric or life-body is simply the vehicle of the formative forces of life, the forces of growth and reproduction. The sentient body gives expression only to those impulses, desires, and passions, which are stimulated by external nature.

Pada awal manusia baru akan melebihi hewan, ketika kedirian mereka menyala, sebenarnya manusia kurang lebih masih seperti hewan.

Etheric atau daya hidupnya sesederhana kendaraan untuk tumbuh dan berkembang biak.

Sentient atau tubuh astral memberikan kesan dari hasrat dan keinginan yang distimulasi oleh dorongan dari luar.

 

As human beings work their way up from this stage of development through successive lives or incarnations to higher and higher evolution, the I works upon the other members and transforms them. In this way the sentient body becomes the vehicle of purified sensations of pleasure and pain, refined wants and desires. And the etheric or life-body also becomes transformed. It becomes the vehicle of habits, of human beings’ more permanent intent or tendency in life, of the temperament and memory. One whose I has not yet worked upon the life-body has no memory of experiences in life. One just lives out what has been implanted by Nature.

 

Seiring dengan manusia berlatih mengelola dirinya melewati serangkaian proses bertumbuh dan berkembang, I bekerja pada tiap bagian tubuh dan mentransformasinya.

Dengan ini, Sentient atau Astral menjadi kendaraan emosi yang lebih jernih, keinginan dan hasrat yang sudah lebih baik.

Etheric juga bertransformasi, sebagai tempatnya kebiasaan-kebiasaan dan kecenderungan diri kita, tempramen serta memori. Jika kedirian dalam diri seseorang belum diolah pada tubuh etheric, ia belum akan memiliki pengalaman dalam hidupnya, ia hanya mengikuti apa yang sudah tertanam oleh alam.

Sebenarnya  sulit untuk mencerna kalimat terakhir, namun satu kali Horst Hellmann, seorang guru dan mentor pendidikan Waldorf pernah bercerita, ketika seseorang sakit ia akan merasakan ketidaknyamanan pada dirinya, I bekerja dengan sebuah kesadaran dan kemauan untuk berubah. 

Manusia mencoba mengubah kebiasaan-kebiasaannya, setelah perubahan berjalan secara rutin dan terus menerus maka perbaikan mulai berangsur angsur terjadi, manusia mengolah I nya untuk berubah kearah yang lebih baik, proses sakit, baik secara fisik maupun psikis mengajak manusia untuk mengelola kelemahannya dan mengubah dirinya, perjalanan hidup manusia dengan naik turunnya adalah  sebuah kesempatan untuk belajar dan berevolusi.


This is what the growth and development of civilization means for humanity. It is a continual working of the I on the lower members of human nature;

Jadi sepertinya inilah makna dari pertumbuhan dan perkembangan peradaban untuk kemanusiaan, aspek I yang diolah terus menerus dalam segala tantangan dan kelemahan manusia itu sendiri.

Tentunya setiap zaman membawa tantangannya sendiri dan kita tidak pernah lepas dari krisis ataupun masalah namun memaknai ini dalam sudut pandang bagaimana manusia dapat berubah melalui kediriannya menghadirkan wawasan bahwa memang hanya manusia yang dapat mengubah kaumnya sendiri.


Under the influence of the I, the whole appearance and physiognomy, the gestures and movements of the physical body, are altered.

Di bawah pengaruh kedirian, seluruh penampakan, struktur wajah, gestur dan gerak tubuh dapat diubah.

Dalam pendidikan Waldorf (dan mungkin juga di pendekatan lain) cara bagaimana seorang anak berjalan merupakan salah satu pendekatan untuk mengenal dan mengidentifikasi anak. Ketangkasan adalah salah satu aspek yang penting dalam sebuah pendidikan, kemampuan seseorang untuk menggerakkan dan mengarahkan tubuhnya akan memengaruhi bagaimana seseorang menjalankan tugasnya, menjalankan kehidupannya dan merawat dirinya.

Kebiasaan makan, asupan nutrisi, tekstur makanan yang dikunyah, akan berpengaruh pada struktur wajah, postur tubuh serta kesehatan dan keseimbangan tubuh.

Pendidikan dapat menjadi sehat bila mempertimbangkan faktor ini, melalui kurikulum yang berimbang dan melibatkan gerak serta pemilihan nutrisi yang baik serta ritme yang berimbang antar berpikir bergerak dan merasa. Peran I di sini adalah melatih dan membiasakan kemauan untuk melakukan hal-hal ini.


It is possible, moreover, to distinguish how the different ways of culture or civilization work on the various members of human nature. The ordinary factors of civilization work on the sentient body and permeate it with pleasures and pains, and with impulses and cravings that are different from what it had originally. Again, when a human being is absorbed in the contemplation of a great work of art the etheric body is being influenced.

Di buku ‘Practical advice for teaching’ Rudolf Steiner mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang ‘kering’-atau ‘mati’, terlebih bila pendekatannya hanya berupa menghadirkan fakta-fakta. Yang menghidupkan ilmu pengetahuan adalah seni, karena belajar melalui pendekatan seni dan cara yang imajinatif akan membuka kesempatan untuk mengenal sesuatu dari banyak sudut pandang.

Kaitannya dengan paragraf terakhir adalah bagaimana seni merupakan sebuah kendaraan belajar yang punya kekuatan tersendiri, yang dapat menyentuh tubuh etheric, mungkin lewat dampaknya yang banyak menyentuh sisi rasa dalam tubuh kita, yang tentunya ada kaitannya dengan energi, metabolisme, detak jantung, denyut napas, aliran darah, dan masih banyak lagi aspek yang jangkauan pikiran kita yang dapat tersentuh oleh seni. Bila kita hanya belajar lewat berpikir dan minim rasa makan hanya otak yang berat bekerja.

Bahwa ternyata pembelajaran yang baik memang tentang pembelajaran yang sehat dan seimbang.

Through the work of art one divines something higher and more noble than is offered by the ordinary environment of the senses, and in this process one is forming and transforming the life-body. Religion is a powerful way to purify and ennoble the etheric body.

Dengan mengolah rasa lewat seni seseorang dapat menemukan kemuliaan dan sesuatu yang lebih tinggi dari apa yang ia temukan sehari-hari. Ketika kita belajar mengenal sesuatu dari definisi , maka pengetahuan akan sampai pada apa yang tertulis, namun ketika kita belajar dan mengenal sesuatu melalui cara yang imajinatif, maka belajar akan menjadi pengalaman yang begitu individual, yang dialami secara berbeda-beda oleh tiap orang yang melewatinya, ketika sebuah pembelajaran dihantarkan dengan imajinatif maka ilmu pengetahuan dapat terus berkembang.

Bayangkan ketika kita mengenal warna merah secara definisi, kita kemudian tau yang mana itu merah, sampai di situ. Kemudian bayangkan ketika kita menyapukan warna merah dengan kuas di atas kertas, apa yang terbayang? Perasaan seperti apa yang hadir? Ketika dilakukan bersama sama dengan orang lain apakah pengalamannya akan sama pada semua orang? Lalu bayangkan ketika kamu mendengar sebuah dongeng tentang warna merah, apa yang akan muncul dalam imajinasi. Warna merah jadi lebih hidup, pengetahuan akan warna menjadi lebih dari sekedar nama, kita jadi dapat lebih menghargai keindahan yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta.


Here is where the religious impulses have their tremendous purpose in human evolution.

Mungkin itu juga mengapa agama diturunkan melalui kitab suci dengan kisah-kisah sarat makna, struktur bahasa yang begitu indah. 

Agama hadir dengan keindahan, kebaikan dan keteraturannya untuk hidup manusia.

Agama, dengan kapasitas spiritualnya akan menjadi makanan yang sehat untuk jiwa kita. Pada jiwa yang sehat dan terhubung dengan Sang Pencipta, manusia menemukan makna dari keberadaannya di dunia ini. 


What we call conscience is no more than the result of the I’s work on the life-body through many incarnations. When people begin to perceive that they should not do one thing or another and when this perception makes a strong enough impression that the impression passes into the etheric body, conscience arises.

Yang kita sebut nurani merupakan hasil dari olahan I pada tubuh etheric kita lewat banyak proses evolusi. Ketika seseorang sudah dapat mengelola dirinya dengan mampun memililh mana yang baik untuk dilakukan ataupun mana yang perlu ditinggalkan maka persepsi itu akan memberikan kesan yang kuat dalam tubuh etheric kita, di sanalah tumbuh nurani.

Melalu proses belajar dari tahap ke tahap dalam perjalan kita, sikap yang dipilih dapat menjadi kebiasaan, kebiasaan yang terus menerus akan menjadi watak.

Semoga yang kita pilih adalah kebaikan, semoga pendidikan yang ditanamkan ke diri sendiri serta lingkaran kita adalah yang menuju pada kebaikan dan mendukung konsep keutuhan dan keseimbangan.

Komentar

Postingan Populer