Letting Go
Adakah yang lebih gemas dari pekerjaan yang dibuat dengan sungguh-sungguh kemudian rusak diacak-acak?
_
Jumat malam biasanya ritme kami di lingkaran Arunika adalah Zoom'atan, sebuah sesi ngobrol dan diskusi senang-senang, dengan topik-topik yang kadang berat tapi diurai dengan ringan dan penuh (kadang kebanyakan) humor.
Tema minggu ini adalah tentang seni melepaskan atau "Letting Go".Diskusinya bermain-main dalam konsep dari Carl Jung tentang Wu Wei : The Art of Letting Things Happen.
Membiarkan hal-hal mengalir apa adanya bersama kita berselancar di dalamnya merupakan ilmu tingkat tinggi bagiku. "yaudah" untukku seringnya tak bisa pasrah, seringkali berat atau menyerah, namun bukan menerima.
Bersama Erika yang menceritakan pengalamannya dalam letting go, kami diajak untuk membuat artwork seindah mungkin, lima belas menit kuhabiskan untuk memilih warna, melukis pelan-pelan, sengaja memilih kertas terbaik.. aku masih sedang merapikannya hingga kemudian Erika meminta kami untuk menyobek artworknya.
Kejam kau Er.
Aku dikerjain sama Erika, ngajak bahas let go dengan bikin artwork kemudian dirobek-robek. Trus diobok-obok bareng untuk ngobrolin gimana rasanya.
Zoomatan ini memang sering kurang kerjaan.
Tentunya, banyak yang tidak rela harus merobek karyanya, walaupun ada juga yang memandangnya sederhana. Aku bukan aliran sederhana, aku aliran protes dan overthinking. buat apa bikin bagus-bagus yakaan.. sayang rasanya
Aku mendengarkan cerita teman-teman lain yang berbagi pengalaman, yang berpikir strategis supaya robekannya masih aman untuk diperbaiki kembali, yang belum rela untuk merobek, yang merasa bahwa ketika mengerjakannya santai sehingga merobek artworknya bukan hal yang berat, yang merasa bahwa kalaupun dirobek masih bisa dikerjakan lagi besok, serta guru yang jadi teringat murid-muridnya di kelas merajut, anak-anak yang dengan senang hati mau mengulang-ulang rajutan yang sudah mereka buat.. Mungkin melepaskan lebih mudah bagi anak-anak, kan katanya "they live in the moment"
Sembari mendengarkan, aku mengamati artwork buatanku yang sudah tercerai-berai. Hmmm... masih indah.
Melihat warna merah dan hijau mengering dalam sebuah kertas yang cukup besar untuk bisa dirapikan dengan gunting dan dijadikan pembatas buku.
... ternyata
ngga.ada.yang.sia.sia.
ujarku pada diriku sendiri.
Pada hal-hal yang kita rasa sudah rusak, bahkan porak-poranda, entah kesalahan yang disengaja atau terjadi karena seharusnya, pada
kuku yang patah, kata-kata ngga enak yang terlanjur terucap, kulit yang luka dan memar (atau puting yang sobek- sorry tapi sekarang jadi lucu hahaha), hewan peliharaan yang mati, harapan yang ngga terkabul, rencana yang ga terlaksana, dikecewakan orang yang sangat kita percaya, pandemi(!), bersinggungan dengan teman, kehilangan materi, bahkan mungkin yg paling sedih kehilangan orang terkasih,
pada kesemuanya itu ternyata ngga ada yang sia-sia, walaupun berkeping-keping masih bisa dipungut dan diolah kembali, entah itu sebagai pelajaran atau pengalaman.
Setidaknya, karenanya kita jadi ngga bodo-bodo amat, setidaknya ada tenggang rasa yang hadir ketika melihat orang lain mengalami kesulitan.
Mungkin itu yang dimaksud Steiner sebagai "a world directive full of wisdom" hal yang kita rasa hancur dan rusak pun masih punya hadiahnya untuk diberi pada kita. Itu kebijaksanaan yang dikasih dunia.
Namun, ngga tau kapan dan gimana, masih misterius gimana hikmah bisa dipetik dari kehidupan ini, momentum itu sungguh rahasiaNya.
Namun (setidaknya saat ini) aku diingatkan lagi bahwa momentum juga terjadi lewat usaha yang kita upayakan terus menerus.
Berikut tips dari jung tentang Wu Wei: How to Learn the Art of Letting Things Happen
• Mengetahui bahwa segala sesuatu di dunia ini ngga mesti sama dengan ekspektasi.
• Mengetahui sifat alami batin kita: "our inner world" yang tercermin di mimpi. Konsep mimpi jadi lebih make sense buatku ketika menyaksikan gimana guru-guru di Waldorf melakukan pendekatan pada anak-anak yang sedang challenging dengan membawa mereka kedalam pikiran dan harapan baik atau doanya, dan (biasanya) akan ketemu anak tersebut di mimpi, magically, jawabannya terungkap sendiri akan apa kebutuhan si anak. Ilmu tingkat tinggi yang mungkin terdengar ngawang-ngawang buat awam, namun, semakin kita alami, dan semakin aku belajar, pada akhirnya akan terbukti secara scientific.
" Just as we live in the outer world, so we each have within an entire world of inner figures, a world that shows up in our dreams. When we remember, record and work with our dreams, we begin to discover this world. This is the world of the psyche, a realm beyond the ego’s control. At first this world seems very strange, with a vastly different “take” on both time and space. I think it never ceases to be different from material reality, but with steady exposure via dreams, it can come to have a certain familiarity.
Penjelasan yang masuk akal buatku selama ini tentang mimpi adalah karena di dunia nyata hidup kita banyak distraksinya, utamanya dalam berkomunikasi, maka dengan terhubung dalam mimpi komunikasi dan proses regenerasi di dalam diri menjadi lebih jernih dan ringan dan bisa maksimal terlaksana--mungkin.
• Melakukan hal-hal yang tetap, baik berpikir, dalam hal spiritual, maupun dalam bertindak.
Stay active in your “ordinary occupation.” That is, Jung (quoting the Chinese Master Lao Tzu) would have us continue to function in the outer world, meeting the demands of outer life—work, family, friends, the myriad quotidian aspects of daily life.This is important for keeping us grounded (lest some folks think we’ve “gone off the deep end”) as well as for paying the rent and keeping food on the table.
Sebagai begron story, Minggu ini kami sudah kembali ke Bandung, dengan energi yang terkuras dan batin yang belum siap-siap amat kembali ke rutinitas dan tinggal jauhan lagi (walaupun weekend tetap dikunjungi). Minggu ini kami bener-bener dalam survival mode, adik setiap malam sebelum bobo pake acara nangis dulu karena masih kangen bapak sementara sang ibu dari hari ke hari berusaha biar ngga emosian. Doaku tiap pagi hanya minta dikasih kekuatan lahir batin untuk bisa menjalankan tugasku, dan doa di penghujung hari adalah ucapan syukur bahwa hari ini sudah dapat dilalui.
Juga sambil belajar lagi mendengarkan hal-hal baik, belajar hal-hal yang mungkin sempat kutinggalkan, dengerin Gus Baha karena dia seorang ulama yang lempeng namun optimis, mulai menulis lagi, mencari asupan baik buat badan, ngobrol sama temen-walau sedikit tapi kalau punya temen yang tulus, rasanya aku ngga butuh macem-macem, sedikit teman baik rasanya udah bikin aku kaya (makasih ya kalian). Tiap hari ada tantangannya, tapi aku belajar.
Pengalaman yang sudah dilewati tadi terasa erat sekali di penjelasan poin ini
• Oh ya, katanya, letting things happen itu bukan sebagai tujuan namun merupakan proses untuk dinikmati.
“Letting things happen” is a process, but it is also a goal. Many dream students focus on the goal and wind up much like the little kid on the long road trip, asking every five minutes “Are we there yet?” It is better, at this point, to operate in the understanding that the process is as important as, maybe even more important than, the goal.
• Terakhir, bersedia menunggu. wow, ilmu tingkat tinggi lainnya.
"Finally, or perhaps firstly, be willing to wait. This work requires patience."
Mengakhiri cerita ini, setiap hari kita akan mulai dari awal lagi, tapii kalau kita mulai dapat memaknai seni melepaskan maka mungkin rasanya akan lebih ringan, hari-hari semoga terasa semakin layak untuk dijalani. kalau jatuh bangkit lagi.. dan di sana semoga kita dapat menemukan makna keberadaan di dunia ini. Ciye..
Esok hari ada hal baru lagi yang akan kita lepaskan.. Kita akan kembali "menjadi"
_
Disclaimer : letting go ini konsepnya harmoni dengan konsep ikhlas dalam keyakinanku, aku selalu senang menemukan apa yg aku yakini hadir di tempat lain, membuatku merasa tentram mengetahui tentang hal-hal universal di kehidupan ada dalam ajaran nilai-nilai yang kupegang.
Komentar