Mengenal Waldorf
Cerita tentang perjalanan saya dalam pendidikan anak dan bagian apa dalam filosofi Rudolf Steiner yang saya maknai sebagai seorang ibu.
Saya mengenal Waldorf tiga tahun lalu ketika masih sangat awam dan sedang mencari-cari bentuk pendidikan dan pola asuh yang cocok dengan nilai-nilai keluarga. Pada saat itu kegiatan bermain anak mulai marak di media sosial. Cerita tentang apa itu Waldorf menarik karena paparan Rudolf Steiner sangat teliti dalam memandang anak secara utuh dan menyeluruh. Flosofinya punya korelasi kuat dengan ilmu hakikat Islam yang saya pelajari bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang tidak) hanya punya raga tapi juga jiwa yang perlu dipelihara.
Proses mengenal filosofi ini mengalami pasang surut karena di Indonesia belum cukup banyak sumber untuk belajar. Buku pertama yang saya baca adalah salah satu buku parenting berjudul "You are your children's first teacher ", buku dengan bahasa yang sangat indah dan mengalir. Dalam setiap kata saya dapat merasakan energi si penulis, buku karangan Rahima Baldwin Nancy yang sangat menenangkan kegelisahan saya sebagai ibu baru pada saat itu.
Seiring berjalannya waktu, banyak tantangan yang dihadapi dalam pengasuhan, saya menemukan dunia bermain anak yang sudah sangat maju, modern dan kompleks seperti yg terjadi saat ini, begitupula dengan konsumtifnya pembelanjaan mainan atas nama edukasi. Saya banyak berkontemplasi tentang apa hakikatnya kegiatan anak usia dini.
Pada tahun 2015 saya mengikuti workshop Montessori, menemukan korelasi dengan Waldorf : anak butuh struktur, anak suka kesederhanaan, anak perlu keteraturan.
Tahun lalu is entah mengapa semesta membawa saya bertemu Waldorf kembali dan mengisi bagian yang hilang, pertanyaan yang selama ini terus saya cari. Pertanyaan seperti "bila anak sudah pandai berbicara apakah yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata bijaksana?", "bila anak telah mahir menggunakan tangannya untuk bekerja apakah juga timbul kemauannya untuk membantu orang tua di rumah?" dan masih banyak lagi tanya tanya lainnya yang muncul di kepala.
Di dunia bermain anak yang sudah berbau akademik dan sarat kegiatan scientific saya mempertanyakan, kenapa di Waldorf yang ada hanya art, movement dan story telling? Ternyata kegiatan akademik itu bukannya tidak ada, tapi semua ada waktunya, dipelajari saat jiwa raga anak siap menerimanya dan dipelajari dengan begitu seksama, dengan cara yang tidak hanya konkrit tapi juga bermakna.
Ternyata dari kesederhanaan itulah saya temukan indahnya Waldorf. Kalau kita lihat orang membangun gedung tinggi, kita tidak akan melihat apa apa pada awalnya, karena jauh di bawah sana sedang digali dan dibangun tiang pancang. Makin tinggi gedungnya, makin dalam pondasinya. Filosofi ini melekat di pikiran saya dalam korelasinya dengan pertumbuhan manusia.
Di Waldorf saya mengenal bahwa untuk membangun pondasi anak usia dini, energinya dicurahkan pada rasa percaya pada kebaikan dunia (sehingga terbuka kemauan belajar dan eksplorasi), imajinasi (dunia tanpa batas yang dapat membawa pikiran anak tanpa batas ruang dan waktu), dan yg paling penting sbg umat beragama adalah rasa kagum pada ciptaan-Nya, yang dia temui sendiri dari dalam dirinya, bukan dikotak kotakan fakta yang melemahkan sense of wonder seorang anak. Sense of wonder ini adalah cikal bakal yang penting untuk tumbuhnya spiritualitas dalam diri.
Memelihara anak usia dini layaknya mempersiapkan tanah yang subur untuk kelak ditanami pohon.
Dari perjalanan mengenal filosofi Waldorf kemudian saya bertekad untuk mengenalnya lebih dalam lagi, bersyukur tahun ini diberikan kesempatan untuk mengambil training Waldorf di Bandung selama dua minggu.
Di program itu saya mendapatkan pencerahan baru, hal pertama adalah tentang dua belas indera yang manusia punya menurut Rudolf Steiner, definisi tentang pondasi anak menjadi semakin kuat lagi, betapa terbekalinya kita dengan semua yg sudah Tuhan anugerahkan. Semua indera itu perlu dipelihara,karena kita makhluk yang utuh, semua bagian tubuh saling berhubungan memberi manfaat.
Seberapa sering kita mengalami di masa sebelumnya berapa banyak ilmu yang hanya masuk di kepala saja. Punya pemikiran besar tapi tak banyak yang dikerjakan. Karena mungkin will power kita tidak dipelihara semasa kecil. Atau sebaliknya will besar tapi thinkingnya kecil sehingga apa yang dilakukan tidak dipikirkan sebab akibatnya.
Bahwa betapa banyak sekali potensi yang kita punya dari dalam diri manusia. Rasanya sayang sekali, pendidikan saat ini hanya menggunakan sebagian otak saja, padahal seluruh tubuh kita butuh belajar.
Rudolf Steiner mengatakan bahwa ilmu pengetahuan, seni dan spiritual adalah hal yang tidak bisa dipisahkan, dan itulah yg saya rasakan di training Waldorf di Bandung bulan lalu, betapa kayanya pengalaman yang didapat lewat proses seni, betapa indahnya seni membawa kita pada pengetahuan dari banyak sudut pandang.
Training Waldorf rasanya hal terbaik sepanjang pembelajaran akademik saya . Banyak sekali pertanyaan keilmuan yang terjawab dari pembelajaran multi dimensi. Saya belajar tentang tumbuhan digabungkan dengan astronomi, belajar sejarah digabungkan dengan biologi, belajar ilmu gerak digabungkan dengan konsep courage, hingga arsitektur yang digabungkan dengan prilaku manusia.
Proses belajar yang sangat sangat dalam, menyenangkan ( I did it with so much joy) itu membuka perspektif baru tentang pendidikan.
Tentu perjalanan kita masih panjang, sebagai orang tua, sebagai pendidik. Semoga apa yang kita genggam hari ini dapat menjadi bekal kita untuk tumbuh dan terus belajar. Semoga jalan kita diterangi untuk memelihara potensi anak yang sudah ada di dalam dirinya, menghadirkannya ketika waktunya tiba.
Dengan cara mendidik menyeluruh, harusnya tak akan ada anak yang ketinggalan, tiap-tiap dari kita punya kapasitas yang sama untuk memberi makna di dunia.
Saya mengenal Waldorf tiga tahun lalu ketika masih sangat awam dan sedang mencari-cari bentuk pendidikan dan pola asuh yang cocok dengan nilai-nilai keluarga. Pada saat itu kegiatan bermain anak mulai marak di media sosial. Cerita tentang apa itu Waldorf menarik karena paparan Rudolf Steiner sangat teliti dalam memandang anak secara utuh dan menyeluruh. Flosofinya punya korelasi kuat dengan ilmu hakikat Islam yang saya pelajari bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang tidak) hanya punya raga tapi juga jiwa yang perlu dipelihara.
Proses mengenal filosofi ini mengalami pasang surut karena di Indonesia belum cukup banyak sumber untuk belajar. Buku pertama yang saya baca adalah salah satu buku parenting berjudul "You are your children's first teacher ", buku dengan bahasa yang sangat indah dan mengalir. Dalam setiap kata saya dapat merasakan energi si penulis, buku karangan Rahima Baldwin Nancy yang sangat menenangkan kegelisahan saya sebagai ibu baru pada saat itu.
Seiring berjalannya waktu, banyak tantangan yang dihadapi dalam pengasuhan, saya menemukan dunia bermain anak yang sudah sangat maju, modern dan kompleks seperti yg terjadi saat ini, begitupula dengan konsumtifnya pembelanjaan mainan atas nama edukasi. Saya banyak berkontemplasi tentang apa hakikatnya kegiatan anak usia dini.
Pada tahun 2015 saya mengikuti workshop Montessori, menemukan korelasi dengan Waldorf : anak butuh struktur, anak suka kesederhanaan, anak perlu keteraturan.
Tahun lalu is entah mengapa semesta membawa saya bertemu Waldorf kembali dan mengisi bagian yang hilang, pertanyaan yang selama ini terus saya cari. Pertanyaan seperti "bila anak sudah pandai berbicara apakah yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata bijaksana?", "bila anak telah mahir menggunakan tangannya untuk bekerja apakah juga timbul kemauannya untuk membantu orang tua di rumah?" dan masih banyak lagi tanya tanya lainnya yang muncul di kepala.
Di dunia bermain anak yang sudah berbau akademik dan sarat kegiatan scientific saya mempertanyakan, kenapa di Waldorf yang ada hanya art, movement dan story telling? Ternyata kegiatan akademik itu bukannya tidak ada, tapi semua ada waktunya, dipelajari saat jiwa raga anak siap menerimanya dan dipelajari dengan begitu seksama, dengan cara yang tidak hanya konkrit tapi juga bermakna.
Ternyata dari kesederhanaan itulah saya temukan indahnya Waldorf. Kalau kita lihat orang membangun gedung tinggi, kita tidak akan melihat apa apa pada awalnya, karena jauh di bawah sana sedang digali dan dibangun tiang pancang. Makin tinggi gedungnya, makin dalam pondasinya. Filosofi ini melekat di pikiran saya dalam korelasinya dengan pertumbuhan manusia.
Di Waldorf saya mengenal bahwa untuk membangun pondasi anak usia dini, energinya dicurahkan pada rasa percaya pada kebaikan dunia (sehingga terbuka kemauan belajar dan eksplorasi), imajinasi (dunia tanpa batas yang dapat membawa pikiran anak tanpa batas ruang dan waktu), dan yg paling penting sbg umat beragama adalah rasa kagum pada ciptaan-Nya, yang dia temui sendiri dari dalam dirinya, bukan dikotak kotakan fakta yang melemahkan sense of wonder seorang anak. Sense of wonder ini adalah cikal bakal yang penting untuk tumbuhnya spiritualitas dalam diri.
Memelihara anak usia dini layaknya mempersiapkan tanah yang subur untuk kelak ditanami pohon.
Dari perjalanan mengenal filosofi Waldorf kemudian saya bertekad untuk mengenalnya lebih dalam lagi, bersyukur tahun ini diberikan kesempatan untuk mengambil training Waldorf di Bandung selama dua minggu.
Di program itu saya mendapatkan pencerahan baru, hal pertama adalah tentang dua belas indera yang manusia punya menurut Rudolf Steiner, definisi tentang pondasi anak menjadi semakin kuat lagi, betapa terbekalinya kita dengan semua yg sudah Tuhan anugerahkan. Semua indera itu perlu dipelihara,karena kita makhluk yang utuh, semua bagian tubuh saling berhubungan memberi manfaat.
Seberapa sering kita mengalami di masa sebelumnya berapa banyak ilmu yang hanya masuk di kepala saja. Punya pemikiran besar tapi tak banyak yang dikerjakan. Karena mungkin will power kita tidak dipelihara semasa kecil. Atau sebaliknya will besar tapi thinkingnya kecil sehingga apa yang dilakukan tidak dipikirkan sebab akibatnya.
Bahwa betapa banyak sekali potensi yang kita punya dari dalam diri manusia. Rasanya sayang sekali, pendidikan saat ini hanya menggunakan sebagian otak saja, padahal seluruh tubuh kita butuh belajar.
Rudolf Steiner mengatakan bahwa ilmu pengetahuan, seni dan spiritual adalah hal yang tidak bisa dipisahkan, dan itulah yg saya rasakan di training Waldorf di Bandung bulan lalu, betapa kayanya pengalaman yang didapat lewat proses seni, betapa indahnya seni membawa kita pada pengetahuan dari banyak sudut pandang.
Training Waldorf rasanya hal terbaik sepanjang pembelajaran akademik saya . Banyak sekali pertanyaan keilmuan yang terjawab dari pembelajaran multi dimensi. Saya belajar tentang tumbuhan digabungkan dengan astronomi, belajar sejarah digabungkan dengan biologi, belajar ilmu gerak digabungkan dengan konsep courage, hingga arsitektur yang digabungkan dengan prilaku manusia.
Proses belajar yang sangat sangat dalam, menyenangkan ( I did it with so much joy) itu membuka perspektif baru tentang pendidikan.
Tentu perjalanan kita masih panjang, sebagai orang tua, sebagai pendidik. Semoga apa yang kita genggam hari ini dapat menjadi bekal kita untuk tumbuh dan terus belajar. Semoga jalan kita diterangi untuk memelihara potensi anak yang sudah ada di dalam dirinya, menghadirkannya ketika waktunya tiba.
Dengan cara mendidik menyeluruh, harusnya tak akan ada anak yang ketinggalan, tiap-tiap dari kita punya kapasitas yang sama untuk memberi makna di dunia.
Komentar