Pertemuan dengan sebagian dari diri Raden Saleh.
Mingu lalu pertamakalinya saya
berkunjung ke galeri nasional. Tempat yang ternyata sangat menyenangkan. Saya
mengawali dengan kunjungan ke gedung B tempat lukisan dan beberapa sculpture
dipajang.
Pengalaman yang sudah membuat
hati berdesir semenjak pertamakali menginjakkan kaki masuk galeri. Ada patung
lebar dengan tinggi 40 sentimeter berbentuk rangkaian perempuan yang berdiri
bergandengan, terlihat kelembutan dan kecantikan berbalut semangat, karya itu berjudul
solidaritas. Saya merasakan sebagian jiwa saya di sana.
Perjalanan berlanjut masuk ke
dalam, berbagai karya dari yang saya mengerti sampai tidak, tapi semuanya
indah. menatap tiap benda berpigura itu dari berbagai sudut pandang, kadang
mengerenyitkan dahi mencoba mencari arti dibalik gambarnya, tentu semua karya
punya cerita.
Setelah berkeliling saya masuk ke sebuah ruangan dengan warna cat
merah marun, hati berdetak, bagian ini pasti istimewa, ada yang berbeda dari
penataannya, di dalam cahayanya temaram, khusus menyorotkan lampu pada karya
seni yang menggambarkan bahwa benda-benda itulah yang paling penting keberadaannya di
ruangan itu
Semburat tulisan besar di dinding
saya baca “Raden saleh Sjarif Bustaman”, saya pun masuk ke dalam membaca
profilnya. Dijelaskan bahwa Raden Saleh adalah tokoh penting Indonesia,
karyanya yang fenomenal sebagian besar adalah bentuk gambaran satir tentang
sifat manusia, bagaimana ia menghubungkan sifat manusia dengan hewan, dan yang
paling fenomenal adalah kritiknya pada penindasan dan penjajahan atas dasar
kecintaannya pada tanah kelahirannya.
Saya menghampiri lukisannya satu
persatu, begitu elegan, menyimpan sejuta emosi dan cerita didalamnya, begitu
memukau bagaimana orang terdidik bisa berkisah di selembar gambar.
Masa yang saat itu sedang
dihadapi raden Saleh adalah situasi perang dimana orang orang dari penjuru
dunia melakukan ekspansi kesana kemari memperebutkan teritori. Ketika kita
sudah merdeka saat ini ternyata masih banyak perang yang kita hadapi, justru dengan
saudara sendiri, orang-orang berperang dengan ideologi, terpecah-pecah menjadi
golongan-golongan yang merasa bahwa pilihannya adalah kebenaran yang paling
hakiki.
Di ruangan itu saya teringat studi grup
Waldorf di Jakarta minggu lalu, bu Kenny bercerita dengan bagaimana tiap orang
merespon peristiwa melalui akal (nalar benar /salah), perasaan (suka/tidak
suka) baru kemudian dilanjutkan dengan kemauan untuk mengambil tindakan.
Dihubungkan dengan realita yag
sedang kita hadapi sekarang, saya teringat begitu mudahnya orang berselisih,
menyebarkan berita palsu di media sosial, dan begitu mudahnya tersulut
kemaraahan atas hal yang belum tentu jelas dasarnya. Orang-orang berdemo dengan
visual yang merusak pemandangan, dengan kata-kata yang sumbang di dengar, caci
maki dengan mudah dilontarkan. Belum lagi kebencian yang panasnya menguap
hingga ke udara, semua terjadi atas dasar ketidaksesuaian yang dirasakan tiap
individu dan dianggap menggangu kenyamanan.
Tentu saja tiap-tiap dari kita
punya nilai-nilai yang kita anut dan kita anggap benar, tapi apakah kita adalah
orang yang paling benar? tentu tidak, walaupun kita merasa kita sudah melakukan
kebenaran, apakah kita satu satunya orang yang berhak menilai benar tidaknya
diri kita?bukankah itu rahasia yang maha kuasa?
Bukankah kita manusia yang sudah benar sekalipun murni dari kesalahan.
Tentu tidak. Kalau begitu mengapa kita merasa jadi orang yang paling berhak
untuk menghakimi hal yang tidak mampu kita ukur benar atau salahnya? Bukankah
kita hanya manusia.
Apakah kita hidup sendirian.
Apakah kita hidup hanya dalam golongan kita. Bukankah Yang Maha kuasa pun punya
belas kasih pada setiap ciptaannya..? Lamunan saya tertuju pada anak-anak,
apakah yang orang orang pelajari selama ini sehingga orang-orang makin kehilangan
empati.
Bila kita membaca kitab suci dan
ucapan para nabi, lupakah bahwa di dalamnya yang kita temukan adalah kisah
indah dan kumpulan puisi.? Tidakkah Tuhan mengajarkan kita lewat keindahan
sehingga timbul keinginan dalam diri kita untuk berbuat kebaikan dan
merawatnya.
Dunia ini darurat keindahan,
darurat kebaikan. penghuni dunia untuk belajar menumbuhkan keindahan dan
bergandengan tangan untuk tujuan kebaikan. Tiap orang hidup dengan standar
kesesuaian, nyaman atau tidaknya berbeda pada setiap orang. Tapi setiap orang
perlu kemampuan untuk melihat setiap hal dari sudut pandang, dan tiap tiap dari
kita punya pilihan untuk merespon ketidaksesuaian dengan cara yang lebih indah
dan elegan.
Kita masih punya kesempatan
menghidupkan semangat seperti Raden Saleh melawan ketidaksesuaian, lawanlah
dengan kebaikan. Ingin sekali saya memulainya dari diri, dari anak-anak sendiri.
Saya ingin belajar mengiringi hari mereka dengan lagu yang merdu, bukan hanya
suruhan yang membuat jemu,saya ingin belajar melakukan cara yang baik untu dia
mengenal batas dirinya, tak perlu diiming-imingi surga ata diancam neraka,
akhirat itu milikNya, tugas kita berusaha sebaik-baiknya. Saya ingin mengajak
mereka mengenal dunia, melihat keindahan diantara tanda tanda kekuasaanNya. Saya
ingin sekali berkata “Dunia ini baik, kita semua punya kesempatan untuk memberi
makna di dalamnya”
__
“Raise your words, not voice. It is rain that grows flowers, not thunder.”
Rumi
__
“Raise your words, not voice. It is rain that grows flowers, not thunder.”
Rumi
Komentar