Mengapa Memilih Bersalin di Bidan (yang mendukung gentle birth)


Apa yang biasanya terlintas di pikiran ibu kalau dengar kata bidan? Kurang reliable ya? Kebanyakan para ibu baru akan memilih obgyn untuk memeriksakan kandungannya, pencarian diawali dengan browsing kesana kemari tentang dokter mana yang paling 'bagus' menurut review.
Di kehamilan pertama saya menghabiskan waktu tiga jam mengantri untuk bertemu dokter yang katanya paling bagus satu kota, baik banget sih, tapi gak bisa lama2 karena masih banyak ibu-ibu yang mengantri di belakang. Percakapan yang biasanya terjadi pun standar aja, apakah bayinya sehat, apakah ada pantangan, apa saja keluhan yg dialami. Beberapa kali saya kecewa karena pertemuan berikutnya makin sulit bertemu, akhirnya saya putuskan untuk ganti dokter saja, toh kehamilan saya termasuk normal dan Alhamdulillah tidak ada resiko berbahaya.
Pilihan dokter kedua jatuh pada seorang dokter perempuan yang saya pilih untuk alasan kenyamanan. Saya melakukan pemeriksaan seperti biasa hingga suatu hari akhirnya sudah memasuki minggu ke 38. Dokter spog saya ini sebetulnya normal-normal saja tiba-tiba terpancing emosi ketika mengetahui kenaikan berat badan saya lumayan pesat. "ibu HPLnya kapan ya? Kalau sampai minggu depan belum lahir kita induksi ya." astaga. bak disambar petir saya langsung gemetar "Mmmmh.. Dok.. Boleh gak saya tunggu aja sampe waktunya bayi saya mau lahir sendiri.." lalu dokter bilang "kalau ditunggu terus bisa nanti bayinya 4 kilo bu, patah nanti kalau dikeluarin sendiri, ibu juga bisa robek sampai belakang nanti, kalau 4 kilo saya gak berani mendingan sesar aja". Hari itu rasanya sedih sekali, saya menelpon guru ngaji saya,  beliau menguatkan saya untuk yakin bahwa hari lahir itu kepunyaan Allah, kita gak perlu terbawa ketakutan tenaga kesehatan yang gak sabaran.
Dan janji Alah memang terbukti, saya keluar flek satu minggu sebelum HPL, waktu itu bulan ramadhan, kami pergi ke rumah sakit setelah sahur, saya langsung dipasangkan infus, perawat melakukan periksa dalam beberapa kali, rasanya sakit dan tidak nyaman, tanpa ijin, saya diberikan pil induksi pelunak mulut rahim sebanyak tiga kali hingga Ayesha lahir. Sejak subuh itu, bukaan baru maju sebelum magrib, ayesha lahir jam 9 malam. Rasanya lama betul. Saat itu saya hanya berdua bersama suami yang jadi pelampiasan amarah, suster hanya datang beberapa kali kalau dipanggil. Pesan yang saya ingat dari perawat "ibu jangan bersuara bu nanti tenaganya habis"  "ibu jangan mengejan bu nanti kepala anaknya panjang".  Makasih loh sus, sungguh gak membantu.
Hari itu adalah salah satu hari membahagiakan dalam hidup saya karena melahirkan anak pertama, sekaligus paling memalukan, mungkin gak ada ibu-ibu yang lahiran se heboh saya pada saat itu.
Lalu mengapa memilih bersalin di bidan?
Saya juga nggak sengaja tau ada bidan gentle birth. Dari obrolan ringan ibu-ibu hingga postingan persalinan andien yang tiba-tiba saja lewat timeline saya ketika tidak bisa tidur semalaman di bulan ke tujuh.
Mungkin memang Allah sudah kasih jalan. Dan saya sangat bersyukur menjadi salah satu ibu yang diberi kesempatan untuk menjadikan pengalaman bersalin menjadi peristiwa paling indah dalam hidup. Surreal.
Nggak sengaja menemukan gentle birth rasanya seperti tersesat di jalan yang lurus, pembekalan yang diberikan berbulan bulan tentang kehamilan, kesehatan ibu, hak ibu, menghindari penyakit, meminimalisir resiko kehamilan, menjaga-mempersiapkan fisik, kontrasepsi hingga perawatan bayi baru lahir membuat saya merasa berdaya. 
Konsultasi pun menjadi jadwal yang selalu saya nantikan, bidan saya bisa menghabiskan waktu satu jam mendengarkan keluh kesah, pertanyaan, dan kekhawatiran yang saya rasakan.
Saya ingat waktu sedang galau karena kontraksi terus tapi belum ada tanda akan melahirkan, bidan saya menenangkan, mengingatkan saya bahwa hari lahir seorang manusia itu rahasia Yang Maha Kuasa, yang bisa saya lakukan adalah ikhtiar menjaganya, menjaga badan saya, menjaga rumah tempat ia tinggal yaitu rahim dan ketuban. Meyakinkan saya bahwa ia akan lahir di waktu yang istimewa.
Kalau di dokter? Geser-geser USG lihat bayinya, ukur ukur,  ngobrol sebentar lalu pulang. Bayarnya mahal pun.
Untuk bisa berhasil melahirkan secara gentle birth prosesnya pun tidak instan, bidan saya memberikan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan rutin berupa kegiatan fisik dan mental yang tujuannya untuk kemudahan ibu bersalin dan untuk menghindari intervensi yang tidak perlu. Kadang kita berpikir bahwa tindakan yang diambil dokter Spog memang sudah yang terbaik, tapi seringnya itu terbaik menurut dokter, kadang karena mereka tidak mau ambil resiko, kadang juga karena mereka kurang sabar, kita sebagai pasien seringnya tak punya daya atau keputusan yang akan diambil terhadap tubuh kita sendiri. Saya sedih mengetahui fakta bahwa saat ini presentasi ibu melahirkan dengan operasi sudah 80% dibandingkan ibu melahirkan normal . Kadang keputusan dan kekhawatiran tenaga kesehatan yang kurang sabar membuat kita lupa bahwa Tuhan sudah ciptakan jalan lahir untuk bayi kita, jalan yang terbaik.
Di hari persalinan saya di bidan, saya tidak disambut petugas berseragam necis dengan tangan ditelungkupkan ke dada dan membungkuk hormat ala concierge hotel. Saya disambut Bidan,  yang menyambut dengan mengusap bahu saya, yang berucap lembut.. "nafas mba.." Ia memegang pusar saya menghitung kontraksi dengan cermat, bergantian dengan bidan lain agar hasilnya lebih akurat. Ia meminta izin untuk periksa dalam dan tak akan mau melakukannya bila saya tak setuju. Saya setuju, jadi tubuh sayapun mau menerima benda asing yang akan masuk ke organ ini tanpa ada paksaan, bidan meminta maaf terlebih dahulu, dan ajaibnya proses itu tidak sakit sama sekali, bukan hanya karena ia melakukannya dengan sopan tapi juga karena saya aware tanpa tekanan.
Di dalam islam, ketika Maryam hendak bersalin ada perintah "makan, minum dan bersenang hatilah.." ayat itu diamalkan oleh bidan pemilik rumah bersalin saya, saya dituntun masuk ke kamar yang sama sekali tidak mewah tetapi nyaman seperti rumah sendiri, lampu tidak menyilaukan pandangan, ruangan harum lavender dan jasmine, sayup sayup suara audio relaksasi, kurma disediakan, semua persiapan dilakukan untuk menghibur setiap indera yang nanti akan bekerjasama untuk sebuah peristiwa besar.
Sementara bayi masih mencari jalannya bertatap muka dengan ibu tercinta, bidan saya memulai ikhtiar kami dengan mengajak syaraf membantu memberikan getaran pada rahim, ia memijat titik acupressure untuk mengetuk pintu rahim dengan sopan. Bukannya tanpa hasil,  Setengah jam saja sudah maju satu bukaan lagi, Ikhtiar lain dilakukan dari pelvic rocking hingga rebozo, dalam tiga jam saya sudah bukaan lengkap dan crowning, Tidak ada obat perangsang. Selama proses itu saya diajak menikmati rasa sakit bersama-sama, dan karena saya dalam keadaan sadar, saya jadi bisa mendengar apa yang diisyaratkan tubuh, saya bisa mengerti bahwa bila saya hanya berbaring dan duduk janin akan lebih sulit untuk turun, maka saya dengan semangat mau diajak para bidan untuk terus bergerak, kami semua bekerjasama membantunya mencari jalan keluar.
Pada semua rangkaian proses persalinan yang berjalan saya bersyukur diingatkan bahwa sebenarnya saya bisa melahirkan normal dan sealami mungkin, pada saat terberatpun ketika mengeluarkan Agnia dari jalan lahir, saya bangga karena pada akhirnya saya berhasil menyambut bayi saya dalam keadaan penuh cinta, saat itu saya merasa kuat dan begitu berarti sebagai seorang wanita, dan kekuatan yang dirasakan itulah paling saya butuhkan untuk menghadapi hari-hari kedepan sebagai seorang ibu. Agnia lahir seberat 4 kilogram, tidak patah dan robek sampai belakang seperti yang dokter khawatirkan.
Saat agnia lahir saya langsung memeluknya, menyapanya dan bilang Assalamualaikum sayang.. Ia merangkak dengan cepat di dada, mendapatkan puting dengan mudah dan menyusi begitu kuat.. Matanya cerah bercahaya. Tali pusarnya dibiarkan mengaliri darah paling penting di dunia, sepertiga darah miliknya yang masih tertinggal pada plasenta, darah dengan kandungan yang sangat kaya, tali pusarnya tidak dijepit seperti yang perawat lakukan pada kakaknya dulu. Kami bercengkrama hingga Agnia tertidur pulas, damai sekali.
Setelah semua proses yang sudah saya lewati hari itu saya mengerti mengapa persalinan nyaman begitu penting, bagi bayi, lahir dengan lembut dan alami akan membuatnya jauh lebih sehat, tanpa obat-obatan sintetis, tanpa teriakan, tanpa ibunya mengejan, tanpa ibunya stress, tanpa tindakan yang membuat dirinya merasa 'terusir' dari rahim sebagai rumahnya yang menaunginya sekian lama, tanpa ibunya mendapat epidural yang membuatnya terlahir dengan membawa drugs di tubuhnya, ia akan lahir dengan rasa cinta dan percaya bahwa dunia menerimanya.
Bagi ibu, persalinan yang nyaman akan jadi semangat yang membuktikannya betapa lembut dan kuat seorang perempuan, sampai puluhan tahun kedepan pun saya tidak akan lupa momen ini, momen yang membuat saya merasa terlahir kembali.
"Our capacity to love and trust happen during the time we were being born, at the first hour of our life. If you protect that newborn baby at the moment of birth and at the first hour, then we will have a child who has an intact capacity to love and trust, that means that our planet has a special person who is ready making our planet to be a happier safer place." -- Robin Lim

Komentar

Postingan Populer